“Dari Pengadu Menjadi Teradu: Ironi Oknum Wartawan dan Dugaan Pemerasan yang Menggerus Marwah Pers di Bali”

BALI, BUSERJATIM.COM GROUP – Bali kembali diguncang isu serius tentang integritas insan pers. Nama seorang oknum wartawan, Anderzon Benyamin Sulla alias Andre Sulla, kembali menjadi sorotan tajam publik. Ironinya sangat mencolok: pada Juli 2025, Andre tampil gagah di hadapan publik—mengadukan seorang Polwan dan wartawan lain ke Polda Bali dengan dalih dirinya diintimidasi. Ia bahkan menerbitkan berita dengan narasi “oknum meras”, seolah-olah menjadi korban ketidakadilan.

Namun kini keadaan berbalik.Justru nama Andre Sulla sendiri yang viral, setelah muncul dugaan kuat bahwa ia melakukan pemerasan terhadap seorang kurator sekaligus advokat, Adv. Capt. Rizki Adam, Ph.D. Serangkaian bukti transfer ke rekening pribadi Andre mencuat ke permukaan:

  • Rp 5.000.000 pada 28 April 2022,
  • Rp 10.000.000 pada 24 April 2022,
  • Rp 5.000.000 pada 25 April 2022.

Bukti-bukti ini menimbulkan pertanyaan keras dari publik:

“Jika dulu lantang menuding wartawan lain sebagai pemeras, mengapa kini justru dia sendiri yang diduga melakukan hal yang lebih berat?”

Seorang warga Denpasar bahkan berkomentar pedas:

“Gaas… saudara kena batunya. Orang ini memang begitu.”

Wartawan lain menambahkan:

“Pantesan diam-diam banyak pis… ini bukti karakter tidak profesional dan bejat.”

Bahkan ada pernyataan yang lebih telak dari jurnalis senior:

“Masalahnya, sejak dulu mereka diduga berkomplot dengan aparat… perlu keberanian besar untuk membongkarnya.”

Nama baik dan wajah jurnalisme kembali tercoreng. Dan publik mulai menuntut:

  • Pimpinan redaksi tempat Andre bekerja harus mengambil tindakan tegas—bahkan memecat—karena dugaan ini sudah merusak citra media dan profesi wartawan secara keseluruhan.

Benang Merah Kasus: Fitnah, Hoaks, dan Intimidasi?

  • Dari keterangan pihak Capt. Rizki Adam, dugaan pemerasan itu berawal dari praktik pemberitaan tidak faktual.

Oknum wartawan tersebut disebut:

  • menulis berita dengan narasi hoaks dan fitnah,
  • menggunakan pemberitaan sebagai alat tekanan,
  • meminta uang agar berita di-take down,
  • menakut-nakuti dengan ancaman akan membuat “berita negatif” jika keinginannya tidak dipenuhi.
  • Dugaan praktik ini memanfaatkan “kekuatan media” untuk menekan korban, bukan untuk menyampaikan kebenaran.

PERMOHONAN PERLINDUNGAN HUKUM CAPT. RIZKI ADAM

Dalam dokumen panjangnya, Capt. Rizki menjelaskan rangkaian kronologi hukum terkait koperasi Goldkoin, termasuk:

  • legalitas koperasi,
  • pengangkatan manajemen,
  • pembelokan sistem oleh pihak internal,
  • gugatan pailit yang kalah di MA,
  • gugatan PMH yang dimenangkan,
  • hingga pelaporan ke polisi oleh mantan karyawan yang diduga sebelumnya membuat sistem arisan berantai tanpa izin.

Namun yang paling mengherankan, menurut Capt. Rizki:

Proses penyidikannya di Polda Bali diwarnai maladministrasi, antara lain:

  • keluarnya sprindik hanya dua hari setelah laporan,
  • tidak ada penyelidikan awal dan konfrontasi,
  • bukti putusan pengadilan yang inkracht tidak dipertimbangkan,
  • saksi ahli yang dihadirkan diabaikan,
  • penetapan tersangka yang dianggap janggal,
  • bahkan ancaman pemasangan police line tanpa dasar TKP.

Semua ini membuat Capt. Rizki merasa dikriminalisasi, sehingga mengajukan permohonan resmi perlindungan hukum.

PELANGGARAN & PIDANA YANG DIDUGA TERKAIT OKNUM WARTAWAN

1. Pemerasan

Mengacu pada dugaan permintaan uang terkait pemberitaan/ancaman pemberitaan.

Pasal yang berpotensi terkait:

  • Pasal 368 KUHP – Pemerasan (penjara sampai 9 tahun)
  • Pasal 369 KUHP – Pemerasan dengan ancaman pencemaran nama baik
  • Pasal 335 KUHP – Perbuatan tidak menyenangkan/intimidasi

2. Fitnah dan Penyebaran Berita Bohong

Jika terbukti membuat berita tidak sesuai fakta dengan maksud menekan korban.

Potensi pasal:

  • Pasal 310–311 KUHP (pencemaran nama baik & fitnah)
  • Pasal mengenai informasi palsu dalam pemberitaan (bergantung unsur-unsurnya)

3. Penyalahgunaan profesi wartawan

Menggunakan atribut media untuk menekan, bukan meliput.

Pelanggaran etik berat:

  • Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
  • Potensi rekomendasi pencabutan status wartawan
  • Sanksi organisasi pers
  • Tindakan disiplin dan pemecatan dari redaksi

4. Dugaan Komplotan / kolusi pemberitaan

Jika benar ada kerja sama dengan oknum aparat tertentu, maka ini dapat mengarah ke:

  • pelanggaran etik,
  • perbuatan melawan hukum
  • penyalahgunaan wewenang (pada pihak aparat).

Kasus ini menunjukkan betapa bahaya jika media digunakan bukan sebagai pilar demokrasi, tetapi sebagai alat ancaman.

Jika benar dugaan-dugaan itu, maka kita tidak lagi berhadapan dengan wartawan, tapi pelaku pemerasan berseragam pers.

Dan ketika seseorang yang dulu paling keras menuding orang lain sebagai “oknum pemeras”, kini justru disorot oleh dugaan tindakan serupa—publik berhak bertanya:

“Siapa sebenarnya pemeras yang sesungguhnya?”

Pimpinan redaksi wajib bersikap.

Aparat wajib menindak secara transparan.

Profesi pers wajib dibersihkan dari parasit yang mencoreng nama baik seluruh jurnalis Indonesia.

News Feed